Pentingnya Stimulasi Dini pada Anak agar Tak Alami Fase Penghapusan Sel Otak
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di masa pandemi banyak orangtua memilih menunda memasukkan anak mereka ke sekolah jenjang PAUD . Padahal, pendidikan pada anak di usia sedini mungkin sangat penting untuk menstimulasi seluruh sel otaknya sehingga kelak si kecil menjadi manusia dewasa yang cerdas seutuhnya.
Menurut Guru Besar Bidang Gizi dan Pangan sekaligus Pakar PAUD Prof. Dr. Ir. Netti Herawati, M.Si, setiap anak lahir dengan jumlah sel otak yang sangat banyak. Sel-sel inilah yang harus "dihubungkan" agar berkembang optimal melalui stimulasi maupun pendidikan yang diajarkan orangtua atau guru kepada si kecil.
"Setiap manusia lahir ke dunia dengan seluruh sel otak yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 100 triliun, tergantung dari kualitas kehamilan. Namun, sel itu baru dapat berfungsi hanya dengan stimulasi," kata Prof. Netti dalam webinar bertema “Bangkit & Menghebat di Era New Normal yang digagas Baby Happy, belum lama ini.
Para orangtua khususnya ibu, kata Prof. Netti, harus memahami bahwa usia 0-2 tahun merupakan masa krusial bagi anak. Pada fase tersebut, apabila sel otak si kecil tidak tersambung atau terstimulasi dengan baik, maka akan terjadi fase penghapusan sel otak atau yang lebih dikenal dengan istilah "use it or loose it".
"Hal itu ditentukan oleh kualitas dan kuantitas stimulasi karena setiap detik terjadi 1,684 juta sambungan sel otak. Sedangkan untuk kualitas stimulasi terkait pada aspek perkembangan atas apa saja yang distimulasikan pada anak dengan cara yang tepat atau tidak,” jelas Prof. Netti.
Untuk itu, orangtua harus memperhatikan beberapa hal demi keberhasilan keberlangsungan pendidikan anak usia dini.
Menurut Prof. Netti, anak sedari dini harus dilatih berpikir kritis atau “critical thinking”. Apalagi di era digital saat ini, di mana ada banyak sekali informasi yang terserap sehingga anak harus dilatih untuk memilah informasi mana yang berguna dan mana yang tidak.
Selain itu, anak juga harus dilatih untuk berpikir kreatif serta mengembangkan kemampuan kognitif supaya memiliki daya juang lebih, terlebih di era pandemi seperti sekarang. Yang tak kalah penting, ujar Prof. Netti, adalah pemberian "nutrisi hati" pada anak agar ia tidak memiliki trauma atau luka masa kecil yang bisa dibawa hingga dewasa. Makanya, para orangtua harus paham pola komunikasi yang baik dan benar dengan si kecil, karena itu juga merupakan aspek stimulasi yang penting pada anak usia dini.
“Jadi jangan takut untuk mulai mendaftarkan anak pada fasilitas pendidikan sejak usia 2 tahun, sedini mungkin agar dapat mengembangkan karakter dan life skill. Guru dapat membuat rencana kegiatan pembelajaran, lalu orangtua mengimplementasikan rencana kegiatan itu dari rumah,” pungkas Prof. Netti.
Menurut Guru Besar Bidang Gizi dan Pangan sekaligus Pakar PAUD Prof. Dr. Ir. Netti Herawati, M.Si, setiap anak lahir dengan jumlah sel otak yang sangat banyak. Sel-sel inilah yang harus "dihubungkan" agar berkembang optimal melalui stimulasi maupun pendidikan yang diajarkan orangtua atau guru kepada si kecil.
"Setiap manusia lahir ke dunia dengan seluruh sel otak yang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 100 triliun, tergantung dari kualitas kehamilan. Namun, sel itu baru dapat berfungsi hanya dengan stimulasi," kata Prof. Netti dalam webinar bertema “Bangkit & Menghebat di Era New Normal yang digagas Baby Happy, belum lama ini.
Para orangtua khususnya ibu, kata Prof. Netti, harus memahami bahwa usia 0-2 tahun merupakan masa krusial bagi anak. Pada fase tersebut, apabila sel otak si kecil tidak tersambung atau terstimulasi dengan baik, maka akan terjadi fase penghapusan sel otak atau yang lebih dikenal dengan istilah "use it or loose it".
"Hal itu ditentukan oleh kualitas dan kuantitas stimulasi karena setiap detik terjadi 1,684 juta sambungan sel otak. Sedangkan untuk kualitas stimulasi terkait pada aspek perkembangan atas apa saja yang distimulasikan pada anak dengan cara yang tepat atau tidak,” jelas Prof. Netti.
Untuk itu, orangtua harus memperhatikan beberapa hal demi keberhasilan keberlangsungan pendidikan anak usia dini.
Menurut Prof. Netti, anak sedari dini harus dilatih berpikir kritis atau “critical thinking”. Apalagi di era digital saat ini, di mana ada banyak sekali informasi yang terserap sehingga anak harus dilatih untuk memilah informasi mana yang berguna dan mana yang tidak.
Selain itu, anak juga harus dilatih untuk berpikir kreatif serta mengembangkan kemampuan kognitif supaya memiliki daya juang lebih, terlebih di era pandemi seperti sekarang. Yang tak kalah penting, ujar Prof. Netti, adalah pemberian "nutrisi hati" pada anak agar ia tidak memiliki trauma atau luka masa kecil yang bisa dibawa hingga dewasa. Makanya, para orangtua harus paham pola komunikasi yang baik dan benar dengan si kecil, karena itu juga merupakan aspek stimulasi yang penting pada anak usia dini.
“Jadi jangan takut untuk mulai mendaftarkan anak pada fasilitas pendidikan sejak usia 2 tahun, sedini mungkin agar dapat mengembangkan karakter dan life skill. Guru dapat membuat rencana kegiatan pembelajaran, lalu orangtua mengimplementasikan rencana kegiatan itu dari rumah,” pungkas Prof. Netti.
(tsa)